Tuesday, September 25, 2012

Pagi ini, 26 September 2012 saya mengikuti seminar online tahap III di Direktorat Administrasi Keuangan UGM. Pagi itu yang datang sepi sekali, baru 5 orang. Saya datang sekaligus ingin menyampaikan presentasi saya yang berjudul COD Reduction from Rhodamine-B Textile Wastewater Using Advanced Oxidation Processes (AOP).

Prosedurnya sendiri cukup simpel, saya hanya perlu duduk di depan laptop, menampilkan slide presentasi saya di laptop, kemudian dengan dihubungkan ke webcam dan microphone, saya menyampaikan presentasi saya.

Sebenarnya rencana dari Seamolec, setiap mahasiswa yang presentasi akan didengarkan oleh seluruh mahasiswa fast track dari seluruh universitas sehingga semua mahasiswa dapat saling memantau progress perkuliahan dari mahasiswa lain antaer Universitas dan saling memberi masukan maupun pertanyaan. Namun karena jadwal seminar sama semua untuk setiap universitas (26-27 Sep pukul 08.00-selesai), jadilah masing-masing sibuk dengan seminarnya sendiri (untuk menyambungkan koneksi internet, check sound, dll saja makan waktu 1 jam sendiri).

Intinya, saya mau mengatakan bahwa seminar ini sangat mudah dan tidak merepotkan. Anda hanya cukup datang dan membawa slide presentasi anda dalam bentuk ppt dan pdf, menggunakan bahasa inggris, tanpa transitions dan animation. Slide presentasi dapat menampilkan penelitian anda, tugas akhir, ataupun apapun yang melibatkan apa yang anda lakukan di kampus.

Seminar online sendiri diadakan 4 kali setahun. Seminar I dan II sudah diadakan bulan Juni 2012, Seminar III pada bulan September, dan yang terakhir akan diadakan bulan November 2012. Jadi, selamat mempersiapkan seminar anda :D

Sunday, July 8, 2012

Fast Track.......


Hi, there..

Nama saya Lusiana Chendrika (you can call me Lusi), dan saya adalah mahasiswi fast track Teknik Kimia UGM yang baru saja menyelesaikan Tugas Akhir S1 Teknik Kimia saya yang berjudul "Prarancangan Pabrik Metil Metakrilat dari Metanol dan Asam Metakrilat Kapasitas 60.000 Ton/Tahun".
Buat yang belum tahu apa itu fast track, yuk denger penjelasan saya.


Jadi, fast track adalah jalur kuliah 'cepat' dimana mahasiswa menyelesaikan studi S1 + S2 selama hanya 5 tahun (biasanya kan 6 tahun). Program ini adalah kerjasama dikti dan SEAMOLEC untuk melahirkan tunas-tunas bangsa yang pandai serta memiliki social responsibility, terlihat dari program-program yang ditujukan kepada mereka: ISR (Individual Social Responsibility). Kegiatan ISR dilakukan terdiri dari magang atau melakukan proses pengajaran selama 4 jam dalam seminggu di SMA/SMK terdekat, sedangkan untuk pemantauan kegiatan tersebut, Beasiswa Unggulan bekerja sama dengan tim SEAMOLEC menyediakan fasilitas seminar online dan menyediakan fasilitas pembuatan blogger (That was why I made this blog...)

Yang membuat saya bingung adalah, seminar online yang wacananya diadakan setiap bulan itu tidak jelas keberadaannya, dan pemantauan akan kegiatan fast track juga sampai sekarang antara 'ada dan tiada'. Kemudian, ada beberapa prasyarat bagi mahasiswa fast track agar dapat mempertahankan beasiswanya, antara lain: lulus S1 bulan Agustus 2012, IPK 2 semester pertama min. 3,5 (sebenarnya saya juga bingung, ada beberapa teman saya yang bilang batasnya adalah 3,25 bukan 3,5), keharusan mengadakan seminar setiap bulan, melaksanakan program ISR, dan membuat blog. Nah, sekarang yang jadi pertanyaan saya adalah:

1. Apakah mahasiswa yang belum lulus S1 bulan Agustus 2012 tetap mendapat beasiswa?
2. Apakah mahasiswa yang mendapatkan IPK 2 di bawah 3,5 (atau 3,25) tetap mendapat beasiswa?
3. Apakah mahasiswa yang belum mengikuti seminar online, belum melaksanakan ISR, atau belum membuat blog tetap mendapat beasiswa?


Jadi saya hanya bisa berkeluh kesah di sini, semoga beberapa orang yang memang memiliki pengaruh akan program ini dapat membaca tulisan saya di blog dan membantu saya menjawab segala pertanyaan di atas. Saya sungguh berharap agar program ini dapat terus berjalan dan berhasil dalam melaksanakan misinya untuk menghasilkan orang-orang berpendidikan tinggi dan memiliki social responsibility. Namun alangkah baiknya jika program ini dibuat dan dilaksanakan secara jelas sejelas-jelasnya, agar para mahasiswa fast track tidak bingung dan bertanya-tanya akan kelanjutan studi mereka.

Jika anda yang membca saya merupakan mahasiswa fast track juga, dari universitas manapun di seluruh Indonesia, sila berbagi keluh kesah dan informasi dengan saya, saya akan sangat menghargainya :)

Pemanfaatan Membran Pada Industri Wine




Bir atau wine dibuat melalui 4 tahapan, yaitu malting, wort production, fermentation, dan down-stream processing. 4 tahapan ini adalah tahapan yang umum dijumpai, karena setiap industri wine memiliki jumlah fermentasi, temperatur, penyimpanan, yeast, dan prosedur-prosedur lain yang dirahasiakan untuk memproduksi wine mereka. Pada tahapan terakhir yaitu down-stream processing, wine mengalami proses filtrasi. Pada proses ini, wine harus difiltrasi untuk menghilangkan yeast, protein, dan berbagai substansi yang tidak diinginkan. Metode yang selama ini dipakai adalah metode Kieselguhr, sejenis silika yang berasal dari lapisan tanah. Kieselguhr memiliki efek negatif yaitu menimbulkan debu dan dapat merusak lingkungan, oleh karena itu Kieselguhr dinilai berbahaya bagi keselamatan pekerja.

Filtrasi Kieselguhr
Penggunaan Kieselguhr semakin dihindari dari berbagai aspek. Bahan filter yang digunakan harus selalu diregenerasi, karena bila dibuang membutuhkan biaya treatment yang mahal dan juga tidak ramah lingkungan. Regenerasi bahan filter tidak terlalu efektif, dan hingga saat ini berbagai penelitian dilakukan namun belum menemukan solusi yang tepat. Penanganan bahan filter sendiri menimbulkan polusi berupa debu dan dinilai sangat berbahaya bagi kesehatan pekerja. Bahan filter ini juga mengakibatkan proses batch berjalan rumit dan tidak fleksibel. Karena alasan-alasan inilah, dikembangkan metode baru menggunakan membran. Berbagai industri wine sudah banyak menerapkan teknologi filtrasi menggunakan membran.
Membran, dibandingkan dengan Kieselguhr, tidak menimbulkan polusi debu maupun mengancam keselamatan dan kesehatan pekerja. Metode ini tidak memerlukan pembuangan bahan filter, selain itu prosesnya sangat fleksibel. Umur membran juga sangat panjang bila dibandingkan dengan Kieselguhr. Pori-pori membran dapat dibuat sedemikian sehingga dapat mengontrol partikel apa yang dapat melewatinya. Transportasi melalui membran disebabkan oleh perbedaan aktivitas kimia komponen pada kedua sisi membran, contohnya perbedaan tekanan. Pada filtrasi wine menggunakan membran, digunakan tekanan yang tinggi pada sisi feed dan tekanan lebih rendah pada sisi permeate.  Kekurangan pada proses ini adalah adanya kemungkinan terjadinya fouling pada membran sehingga dibutuhkan bahan kimia untuk membersihkan membran.
Selain menghilangkan protein dan yeast, pada industri wine, membran juga digunakan untuk mengatur kandungan oksigen, karbondioksida, dan nitrogen dalam wine.

·         CO2 Control of Beer
Terkadang fermentasi alami tidak dapat menyediakan CO2 yang cukup untuk menghasilkan rasa dan buih pada produk akhir.
·         Nitrogenation of Beer
Nitrogen terkadang ditambahkan untuk meningkatkan buih yang ada di permukaan bir.
·         Deoxygenation of Beer
Untuk menghilangkan oksigen yang terambil oleh bir selama proses transfer.
·         CO2 scrubbing
CO2 dikontakkan dengan air untuk menghilangkan kontaminan-kontaminan yang berasal dari proses fermentasi (fenol, alkohol, dan senyawa organik lain). Air pengontak harus di-deoksigenasi dahulu untuk mencegah oksigen mengontaminasi CO2.
·         H2S removal
Air dapat mengandung H2S dan harus dihilangkan atau dapat menurunkan kualitas rasa dari produk akhir.

Pemasangan filter
Untuk pemasangan filter, ada dua jenis pemasangan yang digunakan yaitu pad type filter dan cartridge type filter. Pad type filter terdiri atas tumpukan frame-frame stainless steel yang disatukan melalui proses clamping. Setiap kerangka dipisahkan oleh filter pad. Wine mengalir hingga setengah frame, melewati filter pad dan keluar melalui frame yang lain. Pad type filter ini biasanya terbuat dari stainless steel dan plastik. Mekanisme clamping sangat besar, dan material yang dibutuhkan sangat mahal. Frame yang digunakan juga sangat sulit untuk dibuat. Oleh karena itu, pad type filter cukup mahal.
Cartridge type filter terdiri atas material yang berbentuk silinder berlubang. Cartridge silinder ini ditempatkan dalam plastik atau stainless steel. Wine mengalir masuk ke dalam silinder, dan melewati filter cartridge dari bagian luar ke bagian dalam, setelah itu wine mengalir keluar silinder. Cartridge type filter biasa digunakan untuk filtrasi air. Silinder plastik diproduksi dalam jumlah yang besar, dan harganya mahal.
Mekanisme filtrasi
Filtrasi dapat berjalan melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama adalah proses adsorpsi, dimana partikel-partikel yang tidak diinginkan tertarik ke dalam material filter berpori. Tenaga elektrostatik dan adhesi bertanggung jawab untuk menjebak partikel. Lubang dan jalur dalam material filter berukuran jauh lebih besar dari partikel-partikel yang terjebak. Mekanisme jenis ini disebut ‘depth filtration’ karena partikel terjebak di dalam ketebalan dari material filter.
Mekanisme kedua adalah proses yang lebih sederhana. Cairan dipaksa melewati membran yang mengandung banyak lubang dan pori. Ukuran pori cukup besar sehingga partikel yang diinginkan bisa melewatinya, namun juga cukup kecil untuk menahan partikel-partikel yang tidak diinginkan. Membran terbuat dari material plastik yang sangat tipis dan diameter pori dapat berukuran sangat kecil. Membran filter ini biasa disebut ‘sterille filter’, karena pori-pori membran cukup kecil untuk menahan mikroba-mikroba pada wine.

1.      Depth Filter
Depth filter digunakan untuk menghilangkan fragmen anggur, kristal tartrate, sel yeast, dan komponen-komponen lain dari wine. Depth filter dibuat dengan penekanan dan pengikatan serat-serat menjadi seperti karpet atau kertas. Dulu, serat asbestos sering digunakan. Namun sekarang depth filter dibuat dari selulosa. Serat-serat selulosa diproses sedemikian sehingga menimbulkan gaya elektrik. Jalur-jalur panjang diperoleh dari serat-serat yang menjebak partikel di dalam membran. Partikel-partikel yang berukuran kecil tertahan ketika pad dibuat lebih rapat dan tebal. Cairan yang mengalir melalui pad menjadi lebih lambat seiring dengan lebih rapatnya pad. Tabel berikut  menunjukkan flow rate air (gal/min/m2) pada tekanan 10 lb/in2.
Filter number
Flow Rate
2
30
3
26
4
20
5
16
6
14
7
11
ek
5
eks
3

Depth filter diproduksi pada beberapa ukuran dan jumlah. 8 by 8, 16 by 16, 36 by 36 in2 adalah ukuran yang paling umum. 16 in adalah yang paling populer untuk produksi wine ukuran kecil. Ketebalan pad tergantung porositas, biasanya berukuran 3/16 in. Depth filter cartridge terbuat dari berbagai material termasuk selulosa dan serat plastik.

2.      Membrane Filter
Membrane filter seperti yang dipelajari disini, adalah material yang sangat tipis, elastis dan fleksibel. Membran filter bekerja seperti ayakan.
Membran terbuat dari material plastik seperti polypropylene, cellophane, dan polyester. Karena membran sangat tipis, lapisan supporting tambahan sangat dibutuhkan, dan membran filter ditempatkan pada bagian permukaan. Membrane filter cartridge jauh lebih mahal dibandingkan depth filter karena konstruksi yang lebih rumit dan material yang lebih mahal.
Porositas membran diurutkan berdasarkan skala tertentu, dan didesain sesuai ukuran lubang ekivalen. Untuk industri wine, porositas yang paling umum digunakan adalah 0.65, 0.45, dan 0.2 mikron. Karena bersifat seperti ayakan, membran mudah tertutup atau tersumbat. Untuk mengurangi masalah ini, semua wine yang akan dilewatkan melalui membran harus melewati depth filter berukuran 1 mikron terlebih dahulu. Membran filter dapat dicuci dan di-backflushing untuk membersihkan partikel-partikel yang menutupinya, sehingga membran filter dapat digunakan berulang kali.
Membran filter digunakan untuk mensterilisasi wine sebelum dikemas dalam botol. Membran filter dengan ukuran 0.45 mikron dapat menghilangkan semua bakteri dan yeast dalam wine.


Filterability
Pada proses filtrasi wine, filterability adalah aspek yang sangat penting, baik pada Kieselguhr maupun pada metode membran. Filterability yang rendah dapat mengakibatkan biaya produksi yang tinggi dan volume produksi yang besar. Menurut Waiblinger (2002), yang menyebabkan 60% dari masalah yang timbul pada proses filtrasi dengan membran adalah β-glucan. Setelah itu barulah muncul masalah-masalah yang disebabkan oleh α-glucan, mikroorganisme, dan material-material partikulat (akibat ketidakmampuan menghilangkan partikel-partikel yang terpecah). β-glucan berasal dari malt, dan jumlahnya tergantung dari kualitas malt dan proses penghalusan. Selama proses penghalusan pada temperatur rendah, β-glucan terpecah menjadi β-glucana. Pada temperatur diatas 60C β-glucan terbentuk dari β-glucan-selobiase. Pada temperatur ini pula β-glucana menjadi tidak aktif dan tidak dapat mengurangi jumlah β-glucan yang ada, sehingga menimbulkan larutan dengan konsentrasi β-glucan yang tinggi. Ketika β-glucan ini dikenai shear stress tinggi, tekanan tinggi, dan rapid cooling, mereka sering memperpanjang rantai glucannya dan melakukan ikatan  hidrogen hingga membentuk gel. Gel ini akan membentuk lapisan pada permukaan membran, menyumbat membran dan akhirnya mencegah terjadinya filtrasi.
Untuk meningkatkan filterability, banyak industri wine menambahkan flocculant sebelum proses filtrasi dan menunggu hingga terjadi sedimentasi untuk memisahkan partikel-partikel besar. PVPP (polyvinylpolypyrrolidone) sering ditambahkan untuk memisahkan polyphenol dalam wine. Silica kadang digunakan untuk memisahkan protein melalui sedimentasi. Waktu sedimentasi juga merupakan aspek penting karena bila tidak akibatnya bagi membran akan lebih buruk dibandingkan tanpa penambahan flocculant.
Membran bekerja sebagai barrier di antara 2 fase cairan dan bekerja sebagai filter yang hanya membiarkan molekul atau partikel tertentu untuk melewatinya. Ada dua mekanisme transportasi partikel melalui membran, yaitu membran berpori menyaring serta menghentikan molekul-molekul yang terlalu besar, dan mekanisme kedua adalah difusi molekul yang terjadi pada larutan. Ada berbagai tipe membran yang dapat digunakan, bergantung pada proses yang diinginkan. Sebagai contoh, yang dibahas di sini adalah membran berpori menggunakan perbedaan tekanan sebagai driving force-nya.

Gambar skematik proses pemisahan menggunakan membran (Mulder)

Kecepatan fluks melalui membran sebanding dengan driving force-nya.
Mikrofiltrasi melalui membran similar dengan filtrasi biasa. Diameter pori yang digunakan selitar 0.05-10 µm dan umumnya digunakan pada emulsi dan suspensi. Massa flux melalui membran dideskripsikan dengan hukum Darcy dan sebanding dengan beda tekanan.
Atau
Dengan J adalah fluks, ΔP adalah beda tekanan, µ adalah viskositas, dan RT adalah tahanan hidraulik pada membran, dimana kueh terbentuk pada permukaan membran.

Fouling
Fouling pada membran selama terjadi proses filtrasi adalah masalah besar karena dapat menurunkan fluks dan mengakibatkan penambahan biaya. Fouling umumnya dibagi menjadi 3 kasus (fenomena) yang berbeda, yaitu pembentukan kueh, penyumbatan pori, dan absorpsi.

Gambar 3. Berbagai jenis fouling pada membran (Fillaudeau)
Mikrofiltrasi dapat dioperasikan dengan dua cara, yaitu dengan tekanan permeate yang konstan sehingga memberikan penurunan fluks, dan dengan fluks yang konstan sehingga perlu mengubah-ubah tekanan permeate.
Peningkatan hambatan pada membran dapat menyebabkan penurunan fluks dan tekanan. Penurunan kecepatan aliran adalah cara yang paling umum digunakan pada industri wine. Sedangkan pressure drop pada sisi feed biasanya tinggi.
Pengendapan partikel pada pori sangat tergantung pada kecepatan aliran, fluks, tekanan transmembran, hambatan membran, distribusi ukuran partikel, bentuk partikel, agglomerasi, surface effect (elektrostatik), dan sebagainya. Dengan filtrasi crossflow, volume permeate meningkat dibandingkan dengan filtrasi batch, dengan menurunkan pembentukan kueh.
Partikel besar biasanya terjebak dalam pori-pori membran sehingga dapat menutup pori. Penutupan pori ini dapat berupa penutupan parsial sehingga dapat menurunkan fluks, dan dapat berupa penutupan total pori.
Penutupan pori ini meningkatkan tahanan membran, sedangkan pembentukan kueh membuat tahanan tambahan yang baru. Protein terbukti menjadi penyebab hampir seluruh fouling yang dijumpai. Oleh karena itu untuk meningkatkan kinerja mikrofiltrasi, perlu dilakukan pencegahan fouling yang disebabkan oleh protein. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan backwashing.

Gambar 4. Backwashing

Metode lain yang sudah digunakan oleh beberapa industri wine untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi mereka adalah metode Crossflow Hollow Fiber Reverse Flow Modes.

Metode ini membutuhkan waktu lebih sedikit untuk membersihkan membran, sehingga menyediakan waktu filtrasi yang lebih lama, dan menghilangkan kebutuhan backflushing.
Kelebihan metode ini antara lain adalah:
  • ·         Meningkatkan waktu fltrasi
  • ·         Menurunkan biaya dengan menghilangkan peralatan backflushing
  • ·         Memperlama umur membran
  • ·         Meningkatkan kuantitas hasil


Membrane Technology

Definition of membrane
Membrane is a selective barrier between two phases.
Classification of membrane
·         Nature :
1.      Biological membranes :
o   living membrane
o   non-living membrane (liposomes and vesicles from phospolipids)
2.      Synthetic membranes :
o   Organic membrane (polymeric, liquid)
o   Inorganic membrane (ceramic, metal)
·         Morphology or structure
1.      Symmetric membrane :
o   Cylindrical porous
o   Porous
o   Homogenous (non porous)
2.      Asymmetric membrane :
o   Porous
o   Porous with toplayer
o   Composite
Preparation of synthetic membrane
Three basic types of membranes can be distinguished based on structure and separation principles:
·         Porous membranes
Membranes of this class induce separation by discriminating between particle size. Such membranes are used in microfiltration and ultrafiltration.
·         Nonporous membranes
Membranes from this class are capable of separating molecules of approximately the same size from each other. Separation takes place through differences in solubility or in diffusivity. Such membranes are used in pervaporation, vapour permeation, gas separation, and dialysis.
·         Carrier membranes
Using a very specific carrier-molecule which facilitates specific transport. Two different concept: the carrier is fixed to the membrane matrix or the carrier is mobile when it is dissolved in a liquid.
All kinds of different synthetic materials can be used for preparing membranes. The materials can either be inorganic (ceramic, glass, metal) or organic (polymers).
The most important techniques to prepare synthetic membranes, such as:
·         Sintering
This methode involves compressing a powder consisting of particles of a given size and sintering at elevated temperatures. The required temperature depends of material used. Materials can be used such as powders of polymers (polyethylene, polytetrafluoroethylene, polypropylene), metals (stainless steel, tungsten), ceramics (aluminium oxide, zirconium oxide), graphite (carbon), and glass (silicates). Pore sizes about 0.1 to 10 µm. Porosity 10-20% or higher.
·         Stretching
An extruded film or foil made from a partially crystalline polymeric material (polytetrafluoroethylene, polypropylene, polyethylene) is streched perpendicular to the direction of the extrusion, so that the crystalline regions are located parallel to the extrusion direction. Pore sizes 0.1-3 µm. Porosity higher than membranes by sintering, values up to 90% can be obtained.
·         Track-etching
A film or foil (often a polycarbonate) is subjected to high energy particle radiation applied perpendicular to the film. The particles damage the polymer ,matrix and create tracks. The film is then immersed in an acid or alkaline bath and the polymeric material is etched away along these tracks to form uniform cylindrical pores. Pore sizes 0.02-10 µm. Porosity max 10%. Energy of particles usually 1 MeV.
·         Template leaching
Leaching out one of the components from a film. A homogenous melt (1000-1500C) of a three component (Na2O-B2O3-SiO2) system is cooled to separate the system into two phases. One phase consists mainly SiO2 which is not soluble. The second phase is soluble and leached out by an acid or base and a wide range of pore diameters can be obtained with min size 0.005 µm.
·         Coating
Dense polymeric membranes in which transport takes place by diffusion generally show low fluxes. To increase the flux through these membranes, the effective membrane thickness must be reduced as much as posible. This may be achieved by preparing composite membranes.
Composite membranes consists of two different materials, with a very selective membrane material being deposited as a thin layer upon a more or less porous sublayer. The actual selectivity is determined by the thin toplayer, whereas the porous sublayer serves as support. The techniques can be used, such as:
o   Dip coating
An asymmetric membrane (hollow fiber, flat sheets, often used in ultrafiltration) is immersed in the coating solution containing the polymer, prepolymer, or monomer, with concentration of solute low (less than 1%). When the asymmetric membrane is removed from the bath containing the coating material and the solvent, a thin layer of solution adheres to it.This film is then put in an oven where the solvent evaporates and where crosslinking also occurs. Such crosslinking leads to the thin layer becoming fixed to the porous sublayer.
o   Plasma polymerisation
The plasma being obtained by the ionisation of a gas by means of an electrical discharge at high frequencies up to 10 MHz. On entering the reactor, the gas is ionised and by ensuring that the reactants are supplied separately to the reactor, all kinds of radicals will be formed through collisions with the ionised gas which are capable of reacting with each other. The resulting product will precipitate when their molecular weight becomes too high. A very thin layer of thickness 50 nm can be obtained. Factors important are concentration of monomer in reactor, polymerisation time, vacuum pressure, gas flow, gas pressure, and frequency.
o   Interfacial polymerisation
A polymerisation reaction occurs between two very reactive monomers at the interface of two immicible solvents. The support layer is immersed in an aqueous solution containing a reactive monomer or a pre-polymer, frequently of the amine-type. The film is then immersed in a second bath containing a water-immisible solvent in which another reactive monomer, often an acid chloride, has been dissolved. These two reactive monomers (amine and acid chloride) react with each other to form a dense polymeric toplayer. Heat treatment is often appllied to complete the interfacial reaction and to crosslink the water-soluble monomer or pre-polymer. This method resulting an extremely thin film of thickness 50 nm.
o   In-situ polymerisation
o   Grafting
o   Spray coating
o   Spin coating
·         Phase inversion
Process whereby a polymer is transformed in a controlled manner from a liquid to a solid state, often initiated by the transition from one liquid state into two liquids (liquid-liquid demixing. One of the state will solidify so that a solid matrix is formed. The techniques such as:
o   Precipitation by a solvent evaporation
A polymer is dissolved in a solvent and the polymer solution is cast on a suitable support (e.g. a glass plate), which may be porous or non porous. The solvent is allowed to evaporate in an inert (e.g. nitrogen) atmosphere to exclude water vapour, aloowing a dense homogenous membrane to be obtained.
o   Precipitation from the vapour phase
A cast film, consisting osf a polymer and a solvent, is placed in a vapour phase consists of a nonsolvent saturated with the same solvent. The high solvent concentration in the vapour phase prevents the evaporation of solvent from the cast film. Membrane formation occurs because of the penetration (diffusion) of nonsolvent into the cast film. This leads to a porous membrane without toplayer.
o   Precipitation by controlled evaporation
The polymer is dissolved in a mixture of solvent and nonsolvent. Since the solvent is more volatile, the composition shits during evaporation to a higher nonsolvent and polymer content. This leads to the polymer precipitation leading to formation of a skinned membrane.
o   Thermal precipitation
A solution of polymer in a mixed or single solvent is cooled to enable phase separation to occur. Evaporation of the solvent often allows the formation of a skinned membrane.
o   Immersion precipitation
A polymer solution (polymer + solvent) is cast on a suitable support and immersed in a coagulation bath cantaining a nonsolvent. Precipitation occurs because of the exchange of solvent and nonsolvent. The membrane structure obtained results from a combination of mass transfer and phase separation. Immersion precipitation can prepare membranes in two configurations:
1)      Flat membranes
Flat membranes are used in plate-and-frame and spural-wound mhereas tubular membranes are used in hollow fiber, capillary, and tubular systems.
The polymer is dissolved in a solvent or solvent+additives mixture. The polymer solution is cast directly upon a supporting layer, for example a non-woven polyester, by means of a casting knife. The cast film is then immersed in a nonsolvent bath where exchange occurs between solvent and nonsolvent and eventually the polymer precipitates.
2)      Tubular membranes
A viscous polymer solution containing a polymer, solvent and sometimes additives is pump through a spinneret, the polymer solution being filtered before it enters the spinneret. After a short recidence time in the air, the fiber is immersed in a nonsolvent bath where coagulation occurs. The fiber is then collected upon a godet.

Saturday, July 7, 2012

methyl methacrylate from methacrylic acid and methanol plant


Indonesia as a part of world countries must be ready for the next free market era that already came.
Economy condition which slumped similarly with free trade era is an indication that cannot be denied. However several attempts that can make Indonesia compete with other countries should be seek. One of those is industrial stabilization.
Methyl methacrylate is one of developing useful compound.  Traditional markets that use methyl methacrylate, is including glass industry, compact disc, fiber optic, and others. (Mc Ketta, 1985).
            Those industries are very well-known in Indonesia, but most of them get the material source from the overseas, so the industry of monomer of the methyl methacrylate as an intermediate product have a good prospect to be developed in Indonesia. In addition to fulfill the domestical needs, this industry also being prepared to compete in the international free market.         
This methyl methacrylate plant is designed for annual capacity of 60.000 ton/year and operates continuously for 330 days. This plant requires raw material methacrylic acid in amount of 56258 ton/year and methanol in amount of 27646 ton/year annually. This plant planned to build in Bontang, East Kalimantan province. The land required for this plant is 100.000 m2. The employers needed to run this plant is predicted as more as 293 persons.
            From economic analysis it is obtained that, this plant requires a fixed capital investment of $41,209,524.56 and working capital as much as $39,729,195.47. When operated at full capacity (100%), this plant will earn a before taxes profit $11,428,134.67 and with taxes rate of 50 %, it will earn an after taxes profit of $5,714,067.33. A feasibility study concludes an ROI before taxes of 27,73 %, and ROI after taxes 13,87 %. POT before taxes is 2,65 years and POT after taxes is 4,19 years. DCFRR is 21,09 %  and BEP is 49,70 %. Based on this feasibility study, this methyl methacrylate from methacrylic acid and methanol plant is economically feasible.

PENGAMBILAN CAPSAISIN DALAM CABAI DENGAN ETANOL MELALUI EKSTRAKSI


Cabai (Capsicum sp.) merupakan salah satu bahan pangan yang mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Cabai berasal dari Peru, namun penyebarannya bermula dari Benua Amerika, kemudian ke Benua Asia, Afrika, dan Eropa. Cabai merah merupakan salah satu jenis tanaman dari suku terung-terungan (Solanaceae atau Nightshade). Tanaman ini merupakan tanaman semusim yang mudah tumbuh di dataran rendah. (Grolier, 1996)
Kebutuhan akan cabai ini semakin meningkat setiap tahunnya. Pada umumnya masyarakat luas menggunakan cabai sebagai bahan masakan yang dapat memberikan rasa pedas dan pembangkit selera makan. Tingginya kebutuhan akan cabai ini menyebabkan harga cabai cenderung mahal.
Cabai merupakan tanaman yang mempunyai kandungan air yang cukup tinggi, sehingga cabai segar tidak tahan untuk disimpan dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan tempat penyimpanan cabai khusus. Mengingat tingginya kebutuhan akan cabai, dilakukan berbagai penelitian terhadap cabai. Salah satunya adalah mengambil kandungan capsaisin pada cabai dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut tertentu.
Capsaisin adalah zat yang mengakibatkan rasa pedas pada cabai. Capsaisin yang telah diekstraksi dari cabai diperoleh dalam bentuk oleoresin. Oleoresin capsaisin lebih  mudah larut dalam makanan. Penggunaan oleoresin dapat mengurangi biaya transportasi karena volum per satuan berat akan berkurang dan penyimpanannya lebih mudah.
Oleoresin capsaisin selain sebagai bumbu masakan juga memiliki manfaat-manfaat lain, yaitu sebagai bahan pembuatan ginger beer. Capsaisin juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi pada bidang farmasi, yaitu sebagai obat oles untuk membantu menghilangkan rasa sakit atau nyeri akibat penyakit saraf, nyeri pada otot persendian, akibat radang, sakit punggung ringan, serta otot tegang dan keseleo. Cara pengobatan sakit seperti itu diobati menggunakan obat yang dapat memberikan rasa hangat pada daerah yang diinginkan, sehingga menjadi mati rasa. Oleh karena itu capsaisin digunakan oleh para ahli sebagai pengobatan, dengan menempelkannya pada kulit pasien sampai terasa panas, lalu dilepaskan. Selain untuk meredakan rasa sakit atau nyeri, capsaisin juga diujicobakan sebagai obat penghambat kanker leukimia (Ito, 2004), obat kanker prostate(Mori, 2006), maupun sebagai obat diabetes sebagaimana yang telah diteliti oleh peneliti asalToronto, Canada (Razavi, 2006). Selain itu juga digunakan sebagai biological pesticide dan dalam pembuatan gas air mata.
Cabai terdiri dari beberapa jenis berdasarkan tingkat kepedasannya. Rasa pedas cabai disebabkan oleh zat yang disebut capsaisin. Capsaisin memiliki rumus molekul C18H27NO3 dengan nama IUPAC 8-methyl-N-vanillyl-6-nonenamide, (CH3)2CHCH=CH(CH2)4CONHCH2C6H3-4-(OH)-3-(OCH3)).
           Umumnya cabai mengandung 0.1-1.0% capsaisin. Capsaisin terdapat pada biji, kulit, dan daging buah cabai. Zat ini banyak digunakan sebagai biological pesticide dalam melawan serangga dan rodent. Sebagai pestisida, capsaisin digunakan di dalam ruangan (karpet dan furniture) dan juga di luar ruangan (lahan buah dan sayur). Selain itu capsaisin digunakan dalam pembuatan gas air mata. (http//wikipedia.com, 2010)
           Derajat kepedasan cabai dinyatakan dalam ppm atau ppb. Di dalam dunia industri, ukuran standar untuk mengukur kekuatan cabai yaitu Scouville Unit. Capsaisin murni memiliki Scouville Unit 16 juta.(pepper.html, 2002)
Ekstraksi padat-cair adalah salah satu cara yang digunakan dalam operasi pengambilan zat dalam bahan padat menggunakan solven cair. Sering disebut sebagai leaching, lixiviation, dan washing. Prinsip ekstraksi ini adalah dengan cara melarutkan padatan yang mengandung senyawa tertentu ke dalam pelarut organik. Proses ekstraksi biasanya disertai dengan proses pemisahan solut dari pelarutnya, misalnya pemisahan minyak cengkeh dari n-heksana. Padatan harus dipecah atau dicacah terlebih dahulu agar ukurannya semakin kecil dan luas permukaannya semakin besar, sehingga kecepatan transfer massa meningkat.
Dasar pemilihan pengambilan capsaisin dengan cara ekstraksi adalah perbedaan daya larut dari tiap-tiap komponen ke dalam zat pelarut. Mekanisme ekstraksi padat-cair umumnya terdiri dari dua langkah, yaitu:
1.             Kontak antara solven dengan bahan padat untuk diambil solutnya
Pada langkah ini terjadi perpindahan massa solut dari padatan ke dalam cairan dan berlangsung melalui dua tahapan proses, yaitu difusi (dari badan padatan ke permukan padatan) dan perpindahan massa (dari permukaan padatan ke badan cairan).
Kedua proses ini berlangsung seri, jika salah satu tahapan lebih cepat, maka tahapan yang lebih lambat akan menentukan kecepatan proses. Bila ukuran padatan relatif kecil, maka difusi solut dari badan padatan ke permukaan berlangsung sangat cepat sehingga kecepatan ekstraksi ditentukan oleh kecepatan perpindahan massa solut dari permukaan ke badan cairan. Sebaliknya, bila ukuran padatan relatif besar, maka difusi solut dari badan padatan ke permukaan berlangsung sangat lambat sehingga kecepatan ekstraksi ditentukan oleh difusi solut dari badan padatan ke permukaannya. Oleh karena itu pada praktikum ini digunakan ukuran padatan yang relatif kecil, sehingga kecepatan ekstraksi hanya dikontrol oleh kecepatan perpindahan massa capsaisin dari permukaan padatan ke cairan.
2.             Pemisahan cairan ekstrak dari rafinat.
Kadar zat dalam ekstrak semakin besar dengan jangka waktu yang lama tetapi pada suatu saat akan tercapai keadaan kesetimbangan padat-cair yakni keadaan dimana kadar zat dalam ekstrak relatif tetap atau tidak ada perubahan konsentrasi di masing-masing fase.



Advanced Oxidation Process for Textile Wastewater



Pada analisis limbah sering kita menggunakan analisis kadar COD yang terdapat dalam limbah tersebut. COD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi sempurna secara kimiawi senyawa organik dalam air menjadi senyawa akhir anorganik. Pengukuran dengan COD dapat digunakan untuk menentukan jumlah senyawa organik dalam suatu sampel air. COD dinyatakan dalam satuan mg/L, yang artinya massa oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi 1 liter larutan atau sampel air.
COD dapat  dikurangi kadarnya dengan cara oksidasi secara kimia, bio-oksidasi, ataupun adsorpsi. Pemilihan proses cara mengoksidasi itu sendiri tergantung dari berbagai faktor, terutama kadar COD (Chemical Oxygen Demand) dan komponen polutan lain yang terdapat dalam air limbah.
Banyak metode yang digunakan untuk pengolahan limbah cair, salah satunya adalah AOP.  Advanced Oxidation Process (AOP) adalah salah satu alternatif  baru yang dikembangkan untuk pengolahan limbah organik. Advanced Oxidation Process (AOP) merupakan  proses oksidasi dengan radikal hidroksil (OH-), yang sangat reaktif, yang dapat mengoksidasi limbah organik berbahaya menjadi senyawa yang lebih aman bagi lingkungan dan keberadaannya sangat singkat. Advanced Oxidation Process (AOP) ini menjadi salah satu alternatif baru pengembangan pengolahan limbah organik. (Martins, 1998). Keunggulan AOP dibandingkan dengan metode pengolahan limbah organik yang lain adalah tidak menghasilkan hasil samping yang berbahaya, seperti sludge. Secara umum, jika digunakan pada tempat yang tepat, AOP dapat memberikan kemungkinan mereduksi senyawa organik dari beberapa ratus bahkan ribuan ppm menjadi kurang dari 5 ppb. (www.ozono.com)
Metode Reagen Fenton memiliki waktu reaksi yang singkat dibandingkan metode AOP lainnya. Beberapa kelebihan metode ini antara lain besi dan H2O2 murah dan tidak beracun, tidak ada batasan transfer massa karena  katalis bersifat homogen, tidak ada energi terlibat sebagai katalis, dan proses ini mudah dilakukan serta dikontrol. Metode ini telah dipakai secara luas dalam penanganan limbah tekstil dan kertas, serta limbah dari industri farmasi.
Parameter utama dalam metode Reagen Fenton adalah pH larutan, jumlah ion Fe2+, konsentrasi H2O2,  konsentrasi awal polutan, dan kehadiran ion-ion lain. Beberapa studi menyimpulkan bahwa efisiensi oksidasi optimum ketika jumlah H2O2 dan Fe2+ tidak berlebih, sehingga jumlah radikal hidroksil mencapai nilai maksimum untuk melakukan oksidasi zat-zat organik.
Pada metode reagen Fenton, pH optimum berkisar antara 2 sampai 4 (Gogate and Pandit, 2004a). Kenaikan ion Fe2+ dan konsentrasi H2O2 dapat meningkatkan laju degradasi COD (Lin and Lo, 1997). Namun, jumlah H2O2 berlebih akan menurunkan efisiensi degradasi karena proses Fenton ini kemudian diikuti oleh oksidasi biologis (Gogate and Pandit, 2004b). Laju penurunan COD akan meningkat seiring dengan kenaikan dosis efektif H2O2 hingga mencapai nilai ‘kritis’ (Galindo and Kalt, 1998; Arslan et al., 1999; Nilsun 1999). Konsentrasi H2O2 yang tinggi akan mengakibatkan H2O2 bertindak sebagai radical scavenger, sementara konsentrasi H2O2 yang terlalu sedikit tidak cukup menghasilkan radikal hidroksil.
Dincer et al. (2008) melakukan studi mengenai penurunan COD dari limbah industri minyak dan melaporkan bahwa penurunan COD sebesar 86% tercapai pada perbandingan massa H2O2/Fe2+ = 8,7 (w/w), pH = 3, dan waktu reaksi 60 menit. Sedangkan bila digunakan metode Photo Fenton, penurunan COD yang dicapai sebesar 81% pada perbandingan = 168 (w/w), pH = 3, dan waktu reaksi 210 menit. Penggunaan metode Photo Fenton pada penanganan olive mill wastewater (OMWW) menghasilkan color removal lebih dari 90% (Ferreira et al., 2008). Pada studi tersebut, kondisi optimal dicapai ketika 6 ml H2O2 (70%) dan 1 ml FeSO4 (0,5 M) ditambahkan ke dalam 50 ml OMWW (waktu reaksi = 6 hari, pH = 4,2). El Gohary et al. (2008) mendapatkan hasil penurunan COD sebesar 83% menggunakan pH antara 2-3, waktu reaksi 90 menit, dan H2O2/Fe2+ = 10 (w/w).
Mosteo et al. (2008) menggunakan proses Photo Fenton heterogen pada penanganan limbah cair industri wine. Hampir 50% penurunan TOC tercapai dengan konsentrasi H2O2 awal sebesar 0,1 M dan waktu reaksi selama 24 jam. Oksidasi fenton juga digunakan untuk penanganan landfill leachate. Petruzzelli et al. (2007) mendapatkan penurunan COD hampir sebesar 50% pada pH = 3,2, H2O2/Fe2+ = 13 (w/w), dan waktu reaksi 120 menit.